Sekar Ayu Woro Yunita,
Keinginan saya untuk menempuh studi S2 di Jerman bermula ketika saya duduk di bangku kuliah S1, di mana saya belajar bahwa pengelolaan hutan di Indonesia merupakan bentuk salinan dari pengelolaan hutan di Jerman. Keinginan tersebut semakin tumbuh ketika saya bekerja di Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia selama empat tahun setelah menyelesaikan pendidikan S1. Sebagai seorang penasihat untuk Pemerintah Jerman dan Indonesia di bidang Sustainable Forest Management, saya menyaksikan secara langsung bagaimana program bilateral antara kedua negara tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pengelolaan hutan di Indonesia.
Berangkat dari keinginan tersebut, saya mendaftar studi S2 melalui beasiswa DAAD untuk program EPOS, yakni program yang diperuntukkan bagi peserta yang memiliki setidaknya dua tahun pengalaman kerja di sektor pembangunan ekonomi dan lingkungan. Singkat cerita, saya mendaftar ke program studi Tropical and International Forestry di Georg-August-Universität Göttingen karena universitas tersebut memiliki reputasi yang cukup ternama di bidang pertanian dan kehutanan.
Saat saya memulai studi di bulan Oktober 2021, pandemi masih bergejolak di Jerman, sehingga saya masih harus mengikuti kelas secara online. Terkurung di rumah sendirian di musim dingin pertama yang saya lalui di Jerman merupakan tantangan terberat dalam menjalankan studi. Sulitnya untuk bertemu dengan teman-teman kelas di semester satu membuat saya tidak bisa bertukar pikiran secara intensif dengan mereka terkait materi studi yang dibahas di kelas. Selain itu, nuansa musim dingin yang lekat dengan perasaan depresif juga cukup menekan produktivitas untuk belajar dengan optimal.
Untungnya, situasi pandemi membaik di semester dua dan saya mulai bisa mengikuti kelas secara offline. Namun tantangan tidak surut sampai di situ. Karena pada dasarnya hidup di Jerman tidak hanya sekedar studi, tetapi juga menjalani “hidup” di Jerman itu sendiri. Meski program studi yang saya tempuh menggunakan Bahasa Inggris, tetapi Bahasa Jerman merupakan kebutuhan yang tidak bisa dikompromi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, saya rutin mengambil kelas Bahasa Jerman yang ditawarkan secara gratis oleh universitas di setiap semester. Selain itu, saya aktif melatih Bahasa Jerman dengan mengikuti acara-acara kemahasiswaan yang diadakan universitas. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, saya mendapatkan banyak teman baru, baik dari Jerman maupun negara lain.
Tantangan lain yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari adalah perbedaan budaya yang kentara. Stereotip yang melekat pada orang Jerman seperti “tepat waktu”, “teratur”, atau kebiasaan “Lüften” (membuka jendela bahkan saat musim dingin) tidak terlalu mengejutkan karena hal-hal tersebut sering menjadi bahan gurauan di internet. Namun, keterkejutan saya justru hadir dari daya kritis orang-orang Jerman. Ada momen “kikuk” ketika saya sempat memuji negara Jerman, namun mereka selalu menolak pujian tersebut dan terlihat enggan untuk bangga dengan negara mereka. Sebagai orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan kritik karena seringkali disambungkan dengan perilaku “tidak sopan”, pengalaman tersebut mengajarkan saya untuk menjadi kritis dan tidak mengambil kritik sebagai serangan personal.
Jika saya harus memadatkan saran dan tips untuk calon mahasiswa yang akan studi di Jerman: belajarlah Bahasa Jerman, jangan malu bertanya, berpikiran terbuka terhadap budaya baru, turut aktif di PPI Jerman agar bisa mengobati rasa rindu pada tanah air sekaligus membangun jejaring dengan mahasiswa Indonesia di Jerman, dan segiat mungkin memperbanyak teman-teman internasional untuk menambah wawasan baru.