Seminar Peluncuran Program Road to Germany di TEI 2023, Indonesia Perlu Sesuaikan Produk Ekspor ke Pasar Jerman
Tangerang, 19 Oktober 2023 –Indonesia perlu mendorong ekspor produk Indonesia untuk semakin menyesuaikan dengan kebutuhan pasar Jerman. Hal tersebut diperlukan untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke negara tersebut dan memastikan Indonesia keluar dari stagnasi dalam hal total perdagangan dengan Jerman. Untuk itu, Indonesia perlu memastikan produk-produk yang diekspor ke Jerman dapat menjawab kebutuhan di pasar Jerman.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Peluncuran Program Road to Germany hari ini, Kamis (19/10) di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang. Seminar tersebut berlangsung sebagai bagian dari pameran Trade Expo Indonesia (TEI) ke-38 tahun 2023. Seminar tersebut menghadirkan Atase Perdagangan Berlin Bayu Wicaksono Putro dan Analis Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI/Indonesia Eximbank) sebagai narasumber. Sementara itu, diskusi dimoderatori Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Hamburg Eka Sumarwanto. Dalam seminar ini, peserta juga diberikan buku elektronik berjudul “Road to Germany: Kajian Potensi Ekonomi dan Risiko Negara Jerman”.
“Ada beberapa kelompok produk Indonesia yang sebenarnya diminati Jerman, tetapi kita belum menghadirkan suplai produk yang sesuai dengan pangsa pasar Jerman. Sehingga, meskipun dalam lima tahun terakhir ekspor Indonesia cenderung bertumbuh, tetapi pertumbuhannya tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena sejumlah produk yang diminati Jerman belum bisa dipenuhi Indonesia. Atau, produk kita masuk justru sebagai second layer-nya,” kata Bayu.
Menurut Bayu, impor utama Jerman dari dunia pada 2022 adalah mesin dan perlengkapan elektrik dan bagiannya; mesin dan peralatan mekanik dan bagiannya; kendaraan dan bagiannya; produk farmasi; bahan kimia organik; plastik dan barang dari plastik; instrumen optik, fotografi, sinematografi, dan medis; besi dan baja; serta logam mulia, perhiasan dan permata.
Sementara itu, ekspor utama Indonesia ke Jerman pada 2022 adalah mesin atau perlengkapan elektrik dan bagiannya; pakaian jadi bukan rajutan; pakaian jadi rajutan; minyak nabati dan hewani; bijih logam, terak, dan abu; mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya; ekstrak pewarna dan turunannya; karet dan barang dari karet; serta musik dan perangkatnya.
“Kita bisa lihat ada ketidaksesuaian antara permintaan dan pasokan. Dari sekian komoditas, hanya dua komoditas ekspor Indonesia yang masuk dalam impor utama Jerman, yaitu mesin dan perlengkapan elektrik dan bagiannya, serta mesin dan perlengkapan mekanik dan bagiannya. Sedangkan, komoditas impor utama Jerman seperti produk farmasi, bahan kimia organik, hingga logam mulia dan perhiasan belum kita dorong secara maksimal. Untuk itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia Berlin dan LPEI aktif ikut pameran di kelompok-kelompok komoditas yang memang diminati di pasar Jerman,” ungkap Bayu.
Menurut Bayu, Indeks Komplementaritas Perdagangan (Trade Complementary Index/TCI) ekspor Jerman ke Indonesia tetap stabil di angka 39 dalam periode lima tahun terakhir (2018—2022). Sementara itu, indeks untuk impor Jerman dari Indonesia cenderung menurun, mulai dari angka 30,17 pada 2018 ke 25,30 pada 2022.
“Indeks tersebut menunjukkan bahwa Jerman konsisten mengekspor produk yang memang dibutuhkan Indonesia. Sementara itu, Indonesia konsisten mengekspor produk yang tidak terlalu dibutuhkan Jerman atau berupa produk second tier. Hal itu yang menyebabkan total perdagangan Indonesia dan Jerman relatif stabil di kisaran USD 6—8 miliar dalam lima tahun terakhir. Hal ini menjadi bukti ada ketidaksesuaian permintaan dan pasokan, dan cenderung Indonesia yang harus berupaya lebih besar untuk mengejar ketidaksesuaian,” kata Bayu.
Bayu mengungkapkan, Jerman juga menjadi pintu masuk ke Eropa melalui Hamburg. Hamburg bahkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Eropa setelah Rotterdam di Belanda. “Jerman juga punya pelabuhan. Silakan manfaatkan Hamburg untuk mempermudah handling (pengurusan) masuknya produk indonesia ke Jerman,” kata Bayu.
Ada sejumlah produk Indonesia yang memiliki potensi berkembang di pasar Jerman karena perkembangan pasar yang optimis dan daya saing yang positif. Beberapa produk yang berpotensi berkembang antara lain mesin dan peralatan mekanik berupa lemari es, mesin dan peralatan elektronik berupa papan dan lemari untuk kontrol listrik, traktor, batu bara bitumen, karbon aktif, asam stearat, bagian dari rantai selip, hingga aparatus optik.
Bayu juga mengungkapkan, pelaku usaha di Jerman cenderung konvensional. Oleh karena itu, pameran sangat memiliki tempat dan menjadi referensi bagi pelaku usaha di Jerman dan di sekitar Jerman. “Pameran menjadi salah satu cara promosi paling strategis di Jerman,” kata Bayu.
Sementara itu, Parulian dari LPEI mengatakan, dari sisi stabilitas makroekonomi, Jerman termasuk yang terbaik di dunia. Hal ini turut mendukung Indeks Kompetitif Global (Global Competitiveness Index) Jerman yang berada di posisi 7 dari 141 negara di dunia pada 2019.
Dari sisi ekspor, Jerman kuat di ekspor produk manufaktur seperti mesin dan peralatan mekanik, peralatan elektronik, dan mobil. “Dalam sepuluh tahun terakhir, Jerman kuat dalam industri mobil dan kimia,” ungkap Parulian.
Parulian mengatakan, Indonesia perlu memperhatikan kondisi pasar di Jerman dan menyesuaikan kebijakan ekspornya. Hal ini penting untuk memastikan Indonesia bisa mengisi celah-celah permintaan pasar di Jerman. Ia pun menekankan, produk-produk bernilai tambah akan memiliki peluang lebih untuk masuk dan bersaing di pasar Jerman.
“Kita ingin melihat kebijakan ekspor Indonesia dapat mengisi celah permintaan di Jerman. Permintaan di pasar Jerman adalah produk-produk bernilai tambah. Ekspor kita saat ini termasuk bernilai tambah, yaitu produk seperti alas kaki dan pakaian jadi. Tetapi, kita perlu melihat lebih cermat jika produk-produk Indonesia bisa mengikuti tingginya permintaan pasar Jerman. Dari hasil analisis kami, ada beberapa celah yang belum bisa diisi, contohnya produk-produk peralatan mekanis dan peralatan elektronik Indonesia yang belum bisa mengikuti permintaan di Jerman. Maka, ini isu yang bisa diolah, apakah di masa depan Indonesia dapat mengisi celah tersebut?” kata Parulian.
Parulian juga mengungkapkan, terdapat isu populasi penduduk berusia tua (aging population) yang lebih intens dibanding negara-negara lainnya di Eropa. Maka, isu tersebut menjadi peluang bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ingin bekerja sebagai tenaga kerja terampil. Mereka bisa mencoba mendapatkan Kartu Biru Uni Eropa (EU Blue Card). Kartu Biru tersebut merupakan izin tinggal dan bekerja di wilayah negara Uni Eropa bagi para tenaga kerja berkualifikasi tinggi. Kartu Biru diperuntukkan bagi warga di luar Uni Eropa, termasuk Indonesia.